Notification

×

Iklan

Iklan

Kaleidoskop 2022: Tragedi Kanjuruhan Pelanggaran HAM Sorotan Dunia yang Belum Tuntas

Senin, 26 Desember 2022 | 12:17 WIB Last Updated 2022-12-26T05:17:39Z

Aparat kepolisian menembakkan gas air mata secara sporadis di Stadion Kanjuruhan, Malang, Sabtu (1/10). (ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto/tom)

ARN24.NEWS
– Tragedi Kanjuruhan telah menggegerkan dunia lantaran pertandingan sepak bola di Malang pada 1 Oktober 2022 lalu itu berujung menewaskan 135 orang. Tak ada yang menyangka ratusan nyawa melayang usai pertandingan Liga 1 Arema FC Vs Persebaya tersebut. 


Tragedi Kanjuruhan ini menjadi tiga besar bencana sepak bola, setelah mimpi buruk yang terjadi di Lima, Peru pada 1964 silam dan Ghana pada 2001 lalu.


Tragedi Kanjuruhan dipicu oleh tembakan gas air mata yang disemprotkan aparat pukul 22.08.59 WIB atau sekitar 20 menit setelah peluit pertandingan dibunyikan, mengakhir laga yang berakhir 2-3 untuk kemenangan Persebaya.


Aparat menyemprotkan gas air mata dengan dalih untuk mengamankan penonton yang dianggap merusuh karena turun ke lapangan. Padahal, suporter Aremania turun ke lapangan untuk memberi semangat kepada para pemain klub tuan rumah yang pada malam itu dikalahkan oleh tim tamu.


Malam itu semakin kacau karena aparat tak hanya menembak pada satu titik. Mereka dengan membabi buta menembak ke berbgai arah, termasuk ke arah tribun yang masih didiami oleh para penonton.


Total tercatat 11 tembakan gas air mata yang dilepaskan oleh aparat pada malam itu. Kepulan asap gas air mata membuat suporter semakin panik. Ribuan orang berhamburan ke arah pintu keluar.


Jangan bayangkan keluar stadion Kanjuruhan saat itu semudah dan selega keluar dari sebuah toilet.


Pintu yang terbuka sangatlah sempit, sementara suporter berjejalan memaksa segera keluar dalam waktu bersamaan. Tercatat malam itu ada sekitar 43 suporter yang menonton, melebihi kapasitas maksimum Stadion Kanjuruhan 38 ribu orang.


Syahdan ratusan suporter serentak mengalami sesak napas, mata merah kecoklatan menahan perih, jatuh pingsan, hingga satu persatu tewas dalam kondisi oksigen menipis maupun terinjak-injak.


Jasad pun bergelimpangan di enam pintu Stadion Kanjuruhan yang menjadi titik paling banyak ditemukannya korban, yakni pintu 3, 9, 10, 11, 12 dan 13.


Presiden Joko Widodo tak bisa tinggal diam mendapati peristiwa yang menjadi sorotan internasional itu. Dalam hitungan 24 jam, Jokowi langsung memerintahkan Menko Polhukam Mahfud MD membentuk Tim Gabungan Independen Pencari Fakta atau TGIPF untuk melakukan investigasi atas kejadian mematikan itu.


Mahfud pun merespons dengan mengumpulkan para pemimpin lembaga terkait di kantornya pada, Senin (3/10/2022) untuk melanjutkan arahan Jokowiatas Tragedi Kanjuruhan.


Di luar itu, Komnas HAM juga turut melakukan investigasi. Mereka turun langsung ke Kanjuruhan satu hari setelah kejadian.


Investigasi TGIPF rampung lebih awal, Jumat (14/10/2022). Salah satu temuannya, TGIPF meyakini bahwa penyebab ratusan orang berjatuhan adalah gas air mata yang ditembakan oleh aparat.


TGIPF juga menyoroti peran PSSI sebagai sebagai federasi sepak bola profesional di Indonesia tidak melakukan sosialisasi/ pelatihan yang memadai tentang regulasi FIFA kepada penyelenggara pertandingan, baik kepada panitia pelaksana, aparat keamanan dan suporter.


PSSI juga tidak mempertimbangkan faktor risiko saat menyusun jadwal kolektif penyelenggaraan Liga-1.


Adapun beberapa rekomendasi TGIPF adalah Ketua Umum PSSI dan seluruh jajaran Komite Eksekutif harus mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban moral.


Selain itu, TGIPF merekomendasikan agar proses hukum pidana bagi pihak pihak yang terbukti bersalah dan menyebabkan ratusan korban berjatuhan terus dilakukan sampai tuntas.


Namun, tak semua rekomendasi TGIPF itu dilaksanakan. Hingga saat ini, Ketum PSSI Mochamad Iriawan alias Iwan Bule dan jajarannya masih anteng di jabatan masing-masing.


Bahkan, Iwan Bule sempat fun football dengan FIFA di Stadion Madya, Selasa (18/10/2022) malam.


Padahal, TGIPF dibentuk langsung oleh presiden dengan landasan yang jelas, yakni Keppres Nomor 19 Tahun 2022. Sehingga rekomendasi dan kesimpulannya bersifat mengikat.


Sementara Komnas HAM berkesimpulan peristiwa Kanjuruhan merupakan pelanggaran HAM yang terjadi akibat tata kelola yang diselenggarakan dengan cara tidak menjalankan, menghormati dan memastikan prinsip dan norma keselamatan dan keamanan.


Pelanggaran HAM ini, menurut Komnas HAM, salah satunya terkait penggunaan kekuatan yang berlebihan termasuk penggunaan gas air mata di dalam Stadion Kanjuruhan.


Polisi, PT Liga Indonesia Baru (LIB), Indosiar sebagai broadcaster, panitia pelaksana sampai PSSI saling lempar tanggung jawab dalam kasus ini.

Polisi membantah tragedi Kanjuruhan terjadi akibat ulah aparat menyemprotkan gas air mata secara sporadis. Polisi pun menyalahkan suporter yang dinilai anarkis.


"Tidak ada satu pun yang menyebutkan bahwa penyebab kematian adalah gas air mata," kata Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo, Senin (10/10/2022).


Adapun PSSI menyalahkan panitia pelaksana karena membiarkan penonton yang datang melebihi kapasitas.


Sementara PT LIB dan Indosiar saling lempar soal penetapan jadwal pertandingan. Pasalnya, pihak Polres Malang sempat meminta agar jadwal pertandingan digelar sore hari karena alasan keamanan.


Namun, mereka tidak menjalankan rekomendasi itu dan tetap menggelar pertandingan pukul 20.00 WIB. Saling lempar tanggung jawab ini dicap sebagai bukti kacaunya industri sepak bola di Indonesia.


Polisi sejauh ini menetapkan 6 orang sebagai tersangka. Mereka adalah mantan Direktur Utama PT LIB Ahkmad Hadian Lukita, Ketua Panpel Arema FC Abdul Haris, dan Security Officer Suko Sutrisno.


Ketiganya dikenakan Pasal 359 KUHP dan atau Pasal 360 KUHP dan atau Pasal 130 ayat 1 Jo Pasal 52 UU Nomor 11 Tahun 2022.


Kemudian tiga tersangka lain, yaitu Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto, Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi, serta Komandan Kompi Brimob Polda Jawa Timur AKP Hasdarman. Mereka dikenakan Pasal 359 KUHP dan atau Pasal 360 KUHP.


Namun demikian, berkas 6 tersangka Tragedi Kanjuruhan sampai saat ini masih dipingpong antara penyidik Polda Jatim dan Jaksa.


Berkas sebelumnya dilimpahkan penyidik Jatim ke Kejaksaan Tinggi Jatim, namun kemudian berkas dikembalikan ke penyidik karena belum lengkap dengan disertai petunjuk dari jaksa peneliti.


Berkas itu telah dikembalikan jaksa ke penyidik untuk yang kedua kalinya Kamis (1/12/2022) lantaran ada sejumlah petunjuk yang belum dipenuhi Polda Jatim.


Lalu untuk ketiga kalinya, penyidik menyerahkan kembali pemberkasan kasus enam tersangka Tragedi Kanjuruhan ke kejaksaan Selasa (13/12/2022) pekan lalu.


Hasilnya berkas pun akhirnya dinyatakan lengkap. Tapi itu hanya untuk lima tersangka dan tidak berlaku bagi Eks Dirut LIB Hadian Lukita.


Hadian dilepas dari tahanan dengan alasan berkas perkara masih belum memenuhi persyaratan sementara masa tahanannya sudah habis.


Lepasnya Hadian dari jerat tahanan membuat publik semakin sangsi dengan upaya serius aparat dan pemerintah mengusut kasus Kanjuruhan.


Sementara itu, Aremania terus melakukan upaya mencari keadilan atas tragedi Kanjuruhan yang menimpa ratusan kerabat mereka, baik yang terluka maupun meninggal dunia.


Tim Gabungan Aremania (TGA) dongkol dengan upaya penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian karena tak menunjukkan perkembangan signifikan. TGA pun mengkritisi jeratan Pasal 359 KUHP dan atau 360 KUHP tentang kelalaian.


Mereka menganggap jeratan pasal yang pantas untuk diterapkan bagi para tersangka adalah Pasal 338 dan 340 KUHP tentang pembunuhan dan pembunuhan berencana.


Bulan lalu, 18 November 2022, rombongan keluarga korban Kanjuruhan ramai-ramai naik bus dari Malang ke Jakarta mendatangi Mabes Polri untuk melaporkan sejumlah pihak yang dinilai bertanggung jawab dalam peristiwa maut itu.


Salah satu pihak yang dilaporkan adalah Irjen Nico Afinta yang pada saat kejadian maut Kanjuruhan itu menjabat sebagai Kapolda Jatim.


Laporan mereka tidak langsung ditindaklanjuti oleh kepolisian. Alih-alih, mereka terpaksa harus kembali ke Mabes Polri tiga hari kemudian untuk menanyakan laporan polisi (LP) yang tak kunjung terbit.


Bukannya mendapat kepastian, rombongan keluarga korban malah diminta menjelaskan kembali duduk perkara Kanjuruhan yang mereka ketahui. Semuanya mengulang dari awal.


Hasilnya, polisi menolak laporan yang diajukan oleh para kerabat korban Kanjuruhan.


TGA pun lantas melapor ke Ombudsman soal dugaan maladministrasi yang dilakukan oleh Bareskrim Polri lantaran upaya pelaporan mereka diladeni dengan sikap yang berbelit-belit.


Memasuki Desember 2022, tim forensik yang ditunjuk oleh aparat mengumumkan hasil uji toksikologi terhadap dua jenazah korban tak menunjukkan bekas gas air mata.


Pihak keluarga korban meragukan itu. Independensi aparat dalam mengusut tuntas tragedi Kanjuruhan pun semakin disangsikan.


Janggalnya upaya pengusutan itu tak mematikan gelombang protes atas mandeknya pengusutan kematian ratusan kerabat Aremania.


Rangkaian aksi telah dilakukan oleh Aremania dan warga Malang atas kematian ratusan kerabatnya.


Puncaknya, ribuan Aremania melumpuhkan jalan Malang Raya lewat aksi diam 135 menit sebagai bentuk protes terhadap kepolisian yang tak mau terbuka dengan proses hukum Tragedi Kanjuruhan.


Mereka juga menutup akhir tahun 2022 dengan membuat gugatan perdata sebesar Rp146 miliar terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab atas Tragedi Kanjuruhan. Jumlah gugatan uang itu diperuntukkan bagi korban meninggal Rp100 juta dan korban luka Rp50 juta. (yla/gil)