×

Iklan

Mantan Pj Sekda Sumut Effendy Pohan Berbelit di Sidang Suap Topan Ginting, Hakim Minta KPK Buka Sprindik Baru

Rabu, 01 Oktober 2025 | 19:06 WIB Last Updated 2025-10-01T12:06:37Z

Mantan Pj Sekda Pemprovsu, Effendy Pohan saat dihadirkan sebagai saksi dalam sidang lanjutan perkara suap melibatkan Topan Ginting di Ruang sidang Cakra 9 Pengadilan Negeri (PN) Medan, Rabu (1/10/2025). (Foto: Istimewa)

ARN24.NEWS
– Hakim Ketua Khamozaro Waruwu meminta jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), agar membuat surat perintah penyidikan (sprindik) baru terkait pergeseran anggaran dalam proyek jalan di Hutaimbaru-Sipiongot, Kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta).


Menurut Hakim Khamozaro, sprindik baru penting untuk mengusut tuntas, siapa saja yang harus bertanggung jawab dalam kasus korupsi proyek jalan tersebut.


Permintaan itu disampaikan hakim ke jaksa KPK saat mantan Pj Sekda Pemprovsu, Effendy Pohan dihadirkan sebagai saksi, dalam sidang lanjutan yang berlangsung di Ruang sidang Cakra 9 Pengadilan Negeri (PN) Medan, Rabu (1/10/2025).


Awalnya, hakim Khamozaro dan Effendy Pohan terlihat saling berseteru dalam persidangan perihal pergeseran anggaran untuk proyek Jalan Hutaimbaru-Sipiongot yang dinilai janggal.


Menurut Effendy Pohan selaku Ketua Tim Percepatan Anggaran Daerah (TPAD), pembahasan pergeseran anggaran tidak sepenuhnya dihadiri oleh anggota TPAD yang berjumlah sekitar 50 orang.


"Izin yang mulia, secara de fakto, dalam rapat TPAD tidak pernah hadir semuanya ini," kata Effendy menjawab Khamozaro.


"Lalu kalau tidak hadir, kenapa dipaksakan," tanya Khamazaro kembali.


Khamazaro heran, kenapa anggota TPAD tidak kuorum tetapi dipaksakan untuk pergeseran anggaran.


"Tidak ada yang mengharuskan kuorum yang mulia," jawab Effendy


"Kalau tidak ada kuorum, berarti bisa suka-suka," timpal Khamazaro.


Namun, Effendy tetap berkilah bahwa semua bisa menandatangani walaupun tidak semua anggota hadir.


Pernyataan Effendy itu, membuat Khamazaro semakin bingung.


"Tetapi, tadi saudara mengatakan tidak semua hadir," kata Khamazaro.


Lantas, Hakim Khamazaro meminta jaksa KPK agar menyita semua dokumen yang berkaitan dengan pergeseran anggaran.


"Akar permasalahannya itu, di situ penganggaran yang mungkin tidak normal, lalu tiba-tiba muncul, itu yang mau kita lihat," kata Khamazaro.


Menurut Khamazaro, berdasarkan keterangan saksi dari PUPR pada sidang sebelumnya, yang namanya proyek fisik maka wajib ada dokumen-dokumen pendukung.


"Maka ketika itu tidak ada. Bagaimana tim TPAD bisa memunculkan Rp 200 miliar lebih tanpa dokumen lengkap," tanya Khamazaro.


Namun, menurut Effendy bahwa dokumen pendukung tidak pernah sampai ke tim TPAD, 


"Lalu bagaimana saudara bisa menentukan nominal anggaran," tanya Khamazaro kembali.


Menurut hakim, Effendy selaku selaku ketua Tim TPAD tidak paham dengan tugasnya.


"Bapak tahu, Itu proyek itu tayang dari bulan Juni. Rencana umum pengadaan itu tanggal 26 sorenya, bahkan sudah ada penentuan pemenang tendernya, baru kemudian tayang tentang rencana proyek dan konstruksinya di Juli," kata Khamazaro.


Sehingga, kata hakim, ketika dokumen tidak lengkap, menjadi pertanyaan apa dasar TPAD menggeser anggaran tersebut.


Karena itu, hakim Khamazaro menilai kasus ini masih bisa dikembangkan tidak hanya berhenti begitu saja.


"Kasus ini masih berkembang nanti kan penyidikan KPK bisa mengembangkannya untuk membuat sprindik baru mencari siapa lagi yang bertanggung jawab. Kita harus masuk ke akar masalah supaya Sumut ini bersih," pungkasnya.


Dalam sidang itu, dua terdakwa yang disidangkan adalah Direktur Utama PT Dalihan Na Tolu Grup, Muhammad Akhirun Piliang alias Kirun, dan Direktur PT Rona Mora, Muhammad Rayhan Dulasmi. 


Sementar saksi selain Effendy Pohan, juga dihadirkan antara lain mantan Kapolres Tapanuli Selatan AKBP Yasir Ahmadi, ASN Sumut Dicky Anugerah Panjaitan, ASN Dinas PUPR Abdul Aziz Nasution, serta bendahara UPT Gunung Tua, Irma Wardani. (sh