Notification

×

Iklan

Iklan

Mengenal Republik Chechen, Wilayah Mayoritas Muslim di Rusia

Jumat, 08 April 2022 | 12:48 WIB Last Updated 2022-04-08T05:48:59Z

Polisi Chechen sedang berjaga-jaga di depan masjid di Grozny. (Foto: AFP)


 


ARN24.NEWS
-- Republik Chechen atau Chechnya menjadi salah satu wilayah di Rusia yang mayoritas masyarakat memeluk Islam. Kedua wilayah ini bak tak terpisahkan meskipun pernah saling serang.


Pemimpin Chechen, Ramzan Kadyrov, bahkan dengan senang hati mengirim pasukan untuk membantu Rusia dalam melawan perang di Ukraina.


Sementara itu, kelompok Muslim lain juga menyerukan agar masyarakat Chechen mendukung Ukraina.


Chechen atau Chechnya merupakan wilayah di barat daya Rusia dan terletak di pegunungan Kaukasus Besar, demikian dikutip Britannica.


Di wilayah ini ada dua kelompok etnis yang memeluk Islam yakni Chechnya dan Ingush.


Pada 1830 hingga 1850-an pasukan Chechnya dan suku Kaukasia lain di bawah pimpinan Muslim Syamil berhasil mengalahkan pasukan Rusia.


Rusia masih belum jera dengan kekalahan itu, mereka kemudian kembali menyerang dan terjadi lah perang Crimea. Pasukan Chechen tetap mendulang kemenangan.


Di tahun-tahun selanjutnya Rusia menggunakan kekuatan besar dan menangkap Syamil pada 1859. Setelah itu, banyak pengikut dia yang bermigrasi ke Armenia.


Wilayah otonom Chechnya didirikan Bolshevik pada November 1920. Setelah 14 tahun kemudian oblast Ingus bergabung. Lalu pada 1936 wilayah ini ditetapkan sebagai republik.


Selama Perang Dunia II berkecamuk, pemimpin Uni Soviet, Joseph Stalin, menuduh orang Chechen dan Ingush bekerja sama dengan Jerman. Imbasnya penduduk wilayah ini menjadi sasaran deportasi massal ke Asia Tengah dan pembubaran republik.


Republik ini kembali berdiri di bawah pemimpin Uni Soviet Nikita Khrushchev pada 1957.


Namun nyaris setengah abad kemudian sentimen separatis muncul di Chechnya sejalan dengan runtuhnya Uni Soviet pada 1991.


Di tahun itu, politikus Chechen dan mantan Jenderal Angkatan Udara Uni Soviet, Dzhokhar Dudayev, melancarkan kudeta terhadap pemimpin wilayah ini.


Ia lalu terpilih menjadi presiden Chechnya pada Oktober. Sebulan kemudian, Dudayev mendeklarasikan kemerdekaan Chechnya dari Federasi Rusia.


Pada 1992 Chechen-Ingushetia dibagi menjadi dua republik terpisah: Chechnya dan Ingushetia. Dudayev punya visi sendiri yakni anti-Kebijakan Rusia dan nasionalistik.


Kelompok oposisi Dudayev tak suka dengan sistem yang ia jalankan. Pada 1994 hingga 1996, pasukan Rusia menginvasi Chechnya untuk menghentikan gerakan kemerdekaan. Mereka pun terlibat pertempuran sengit. Imbas kejadian itu, sekitar 100 ribu orang tewas.


Dalam serangan itu, Dudayev tewas. Tahun berikutnya mantan pemimpin pasukan gerilya, Aslan Maskhadov terpilih sebagai presiden. Chechen dan Federasi Rusia pada akhirnya gencatan senjata.


Sebagai lanjutan gencatan senjata, delegasi Rusia Boris Yeltsin dan Maskhadov menandatangani perjanjian damai sementara pada Mei 1997. Namun perkara wilayah masih menimbulkan pertanyaan soal status Chechnya yang belum ditentukan.


Perang kembali meletus pada Agustus 1999-2000. Saat itu Vladimir Putin melancarkan operasi militer ke negara tersebut karena gerilyawan Chechen menyeberang dan memasuki wilayah Dagestan, Rusia.


Saat perang berkecamuk, Putin masih menjabat sebagai perdana menteri. Sebagai bentuk tanggung jawab Rusia, mereka mengucurkan dana Chechnya untuk memulihkan infrastruktur.


Rusia pada akhirnya berhasil mengendalikan Chechen dan menjadikan Akhmad Kadyrov sebagai pemimpin wilayah itu sekaligus boneka mereka.


Pada 2003, Chechnya setuju konstitusi baru yang menyerahkan kekuasaan lebih besar ke pemerintah wilayah ini namun tetap mempertahankan status republik di Federasi Rusia.


Dua tahun kemudian, kelompok separatis membunuh Kadyrov. Dengan dukungan Putin, anak dari Ahmad Kadyrov yakni Ramzan Kadyrov duduk di kursi kekuasaan pada 2007 hingga sekarang.


Hubungan Ramzan Kadyrov dan Putin bak anak dengan ayah. Ramzan bahkan mengaku sebagai prajurit Putin.


Sebagai prajurit yang setia, beberapa waktu lalu, ia memutuskan mengerahkan pasukan ke Ukraina untuk membantu Rusia. (isa/bac)