ICW mengkritik 3 tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin (CNN Indonesia/Andry Novelino)
ARN24.NEWS – Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritik tiga tahun kepemimpinan Joko Widodo-Ma'ruf Amin yang dianggap memberikan karpet merah untuk narapidana kasus korupsi atau koruptor.
ICW secara khusus menyoroti pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Pemasyarakatan menjadi UU pada 7 Juli 2022 dan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang hingga kini masih dibahas.
"Salah satu regulasi yang paling bermasalah yang dikeluarkan tahun ini yang justru memberikan karpet merah bagi narapidana korupsi itu lewat Revisi Undang-undang Pemasyarakatan," ujar Koordinator Divisi Hukum ICW Lalola Easter Kaban dalam agenda daring, Minggu (13/11/2022).
Lola menuturkan usaha pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) untuk mengubah UU Pemasyarakatan tak berjalan mulus dan membutuhkan waktu panjang.
Dimulai dengan rencana merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan yang telah diupayakan sejak pemerintahan periode pertama Jokowi.
Namun, karena mendapat protes keras dari publik, usaha itu gagal.
Selanjutnya, lanjut Lola, 'arena pertarungan' diganti. Sejumlah Pasal dalam PP 99/2012 dilakukan uji materi di Mahkamah Agung (MA). Dan MA, pada Oktober 2021, mengabulkan uji materi tersebut dengan mencabut aturan ketat remisi koruptor di PP 99/2012.
Keputusan itu lantas direspons pemerintah dengan merevisi UU Pemasyarakatan.
"Dari rangkaian itu kemudian pemerintah mendapat angin segar yang sesuai dengan keinginan mereka, didorong dan didukung juga dengan DPR RI yang sama problematikanya, kemudian lolos lah Revisi UU Pemasyarakatan di tahun ini," kata Lola.
RUU Pemasyarakatan setidaknya membatalkan dua poin penting yang ada di PP 99/2012 yang secara spesifik berkaitan dengan warga binaan kasus korupsi atau narapidana korupsi.
Pertama adalah kewajiban membayar denda, pidana tambahan dan uang pengganti dihapus.
Kedua, kewajiban menjadi justice collaborator untuk memperoleh remisi dihapus atas nama non diskriminasi. Menurut Lola, perlakuan yang diberikan tersebut mengistimewakan koruptor.
"Jadi, hal tersebut tentu timpang dan bisa dianggap mengganggu rasa keadilan masyarakat," ucap Lola.
Lola selanjutnya menyoroti permasalahan dalam pembahasan RKUHP terkait dengan tindak pidana korupsi. Menurut dia, ada perubahan yang bersifat imparsial mengenai delik korupsi dalam RKUHP saat ini.
"Terutama untuk delik terkait dengan suap-menyuap ada banyak perbedaan dalam hal sanksinya untuk Pasal yang unsurnya serupa," imbuhnya.
Dilansir dari situs resminya, ICW menyebut mayoritas Pasal yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, hukuman pokok berupa pidana badan dan denda dikurangi.
Pertama, Pasal 607 RKUHP yang merupakan bentuk baru dari Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Aturan ini memuat penurunan pidana badan dari empat tahun menjadi dua tahun penjara. Tak hanya itu, denda minimalnya pun serupa turun dari Rp200 juta menjadi hanya Rp10 juta.
Kedua, Pasal 608 RKUHP yang merupakan bentuk baru dari Pasal 3 UU Tipikor. Sekalipun pidana badan mengalami kenaikan dari satu tahun menjadi dua tahun penjara, namun tidak sebanding dengan subjek hukum pelaku yakni pejabat publik. Hal itu menyamakan hukuman antara masyarakat dengan seorang yang memiliki jabatan publik tertentu.
Ketiga, dilansir CNNIndonesia.com, Pasal 610 ayat (2) RKUHP yang merupakan bentuk baru dari Pasal 11 UU Tipikor. Hampir serupa dengan ketentuan lain, hukuman yang ditujukan kepada penerima suap ini pun mengalami penurunan, dari lima tahun menjadi empat tahun penjara. Untuk hukuman pokok lain, seperti denda juga menurun, dari Rp250 juta menjadi Rp200 juta. (ryn/isn)
.jpg)
