Terdakwa Fernando dan Tan Andyono saat diadili di Pengadilan Tipikor Medan. (Foto: Istimewa)
ARN24.NEWS – Terdakwa Fernando HP Munthe selaku Senior Relationship Manager (SRM) PT BNI (Persero), membeberkan jika pencairan kredit sebesar Rp 65 miliar ke PT Prima Jaya Lestari Utama (PJLU) atas persetujuan atasan. Hal itu diungkapkannya, menanggapi keterangan saksi yang dihadirkan jaksa penuntut umum (JPU).
Dalam sidang kasus pembobolan uang BNI 46 Cabang Jalan Pemuda ini, selain Fernando juga melibatkan Direktur PT PJLU Tan Andyono, selaku debitur sebagai terdakwa.
Sementara, JPU Putri Marlina Sari menghadirkan dua saksi yakni Effendi Loka selaku pemenang lelang Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang menjadi agunan kredit BNI dan Arie Wirathama Tandias selaku Komisaris PT PJLU sekaligus ayah terdakwa Tandiono selaku Direktur PT PJLU.
Effendi Loka merasa kecewa membeli PKS yang menjadi agunan BNI yang ditawarkan melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL)
"Saya mengikuti lelang secara online, PKS yang mampu memproduksi sawit 45 kg perjam itu ditawarkan Rp 40 miliar dan saya ditunjuk sebagai pemenang," ujarnya di hadapan majelis hakim PN Medan diketuai Sulhanuddin, Selasa (24/2/2025).
Setelah dibeli, terangnya, ternyata PKS yang menjadi objek lelang BNI tersebut tidak mampu memproduksi 45 kg perjam melainkan di bawah 30 kg perjam. Tidak cuma itu kata Effendi, mesin sawit yang dibelinya itu mengalami kerusakan cukup parah sehingga harus berhenti produksi untuk memperbaikinya dan menghabiskan dana perbaikan Rp 18 miliar.
"Apakah sebelum membeli PKS tersebut tidak disurvei dulu," tanya Hakim Anggota Lucas Sahabat Duha.
Effendi menjawab disurvei, ada 4 orang BNI yang turut mendampinginya ke lokasi pabrik diantaranya terdakwa Fernando.
"Seingat saya ada 4 orang BNI termasuk terdakwa Fernando Munthe, mereka semuanya orang penting BNI 46 cabang Pemuda," kata Effendi.
Menyahuti keterangan Effendi, terdakwa Fernando langsung berdiri dari kursinya.
"Saya keberatan dengan keterangan saksi Effendi pak hakim, bukan saya saja ke lokasi pabrik ada beberapa orang BNI," ujar terdakwa.
Menurut terdakwa, persoalan ini jangan dibebankan kepada dirinya saja, masih ada atasan.
"Pencairan kredit Rp 65 miliar kepada PT PJLU itu atas persetujuan atasan, bukan saya," ujar terdakwa Fernando.
Sebenarnya Fernando ingin membeberkan nama-nama pejabat BNI yang memberi persetujuan dan meninjau lokasi PKS terletak di Jalan Lintas Sumatera (Rantau Prapat-Aek Kanopan), Desa Kampung Pajak, Kecamatan NA IX-X, Kabupaten Labuhanbatu Utara.
Namun keterangan terdakwa Fernando dicegah majelis hakim.
“Oke, nanti jelaskan semuanya saat pemeriksaan terdakwa," ujar Hakim Ketua Sulhanuddin .
Sedangkan saksi Arie selaku Komisaris PT PJLU tidak mengetahui soal pinjaman perusahaan kepada BNI.
"Semua urusan perusahaan dijalankan oleh direktur yang juga ayah saya," ujar Arie.
Sebelumnya dalam dakwaan JPU diterangkan, bahwa terdakwa Fernando menawarkan pinjaman kredit modal usaha kepada terdakwa Tan Andyono untuk modal kerja. Salah satu jaminan kredit yang diajukan oleh PT PJLU merupakan Pabrik Kelapa Sawit kapasitas 45 ton/jam, berikut sarana perlengkapannya
Dalam prosesnya, terdakwa Fernando sengaja tidak melakukan analisa terhadap PT PJLU, seharusnya PT PJLU tidak layak diberikan kredit. Oleh analis kredit justru menyetujui permohonan Direktur PT PJLU yang membuat permohonan pengajuan pinjaman tidak sesuai dengan nilai agunan yang diajukan.
Berdasarkan perhitungan audit independen, bahwa nilai kredit yang dikucurkan kepada PT PJLU sebesar Rp 65 Miliar, yang terindikasi sebagai peristiwa tindak pidana korupsi dan mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 36.932.813.935.
Menurut jaksa, dengan tidak dilakukannya analisa oleh Fernando selaku Analis Kredit terhadap kemampuan PT. PJLU mengakibatkan PT. PJLU tidak melunasi kewajibannya pada tahun 2020 dan berakhir dengan dilelangnya jaminan PT. PJLU berupa PMKS dengan harga jauh di bawah nilai taksasi yang ditetapkan oleh Fernando pada awal pemberian kredit. (sh)