Terdakwa Akuang bersama penasehat hukum ketika membacakan pledoi di Pengadilan Negeri Medan, Senin (14/7/2025).
ARN24.NEWS - Penasihat hukum terdakwa Alexander Halim alias Akuang, Dedi Suheri meminta kepada majelis hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Medan, agar membebaskan kliennya dari seluruh dakwaan jaksa penuntut umum.
“Kami memohon agar majelis hakim membebaskan atau melepaskan terdakwa dari segala dakwaan. Karena dari fakta-fakta persidangan tidak membuktikan adanya tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan," kata Dedi Suheri di Medan, Kamis (17/7).
Ia menilai bahwa dakwaan dan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU), disusun secara tergesa-gesa dan tidak mempertimbangkan fakta-fakta yang terungkap selama proses persidangan.
Dalam pledoi yang dibacakan di hadapan majelis hakim diketuai M. Nazir, Senin (14/7), ia menyampaikan bahwa kliennya didakwa melakukan penguasaan lahan di kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut, Langkat, yang disebut merugikan negara hingga ratusan miliar rupiah.
“Dakwaan tersebut terlalu mengada-ada. Locus perkara belum pernah ditetapkan secara sah sebagai kawasan hutan. Sertifikat Hak Milik (SHM) yang dimiliki klien kami sah menurut hukum dan belum pernah dibatalkan,” ujar Dedi.
Dedi menjelaskan bahwa Alexander Halim membeli lahan dari pemilik sebelumnya dalam bentuk SHM yang sah, bukan merambah hutan. Total ada 60 SHM yang hingga kini masih berlaku dan sudah dibayarkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) nya sampai tahun 2024.
“Lahan tersebut merupakan kebun sawit, bukan kawasan hutan lindung. Penerbitan SHM dan pembayaran PBB menunjukkan bahwa negara mengakui keberadaan dan legalitas tanah itu,” tegasnya.
Dedi juga menyebut bahwa JPU tidak mampu membuktikan secara faktual siapa yang melakukan perusakan hutan maupun letak pasti kawasan yang dirusak.
“Klien kami adalah pembeli beritikad baik dan warga negara yang taat pajak. Ia bukan pelaku perambahan sebagaimana dituduhkan,” katanya.
Lebih lanjut, Dedi menilai unsur kerugian negara dalam dakwaan JPU dibangun secara serampangan.
Menurutnya, metode perhitungan dalam tuntutan JPU mengandung unsur penghitungan ganda (double counting) dan tidak berbasis pada fakta hukum yang sah.
“Kerugian yang didalilkan JPU berasal dari objek hak kebendaan yang sah. Tidak sepatutnya hal tersebut dikriminalisasi,” ungkap Dedi.
Ia juga mempertanyakan mengapa penegak hukum tidak menjerat pihak-pihak lain yang terkait, seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN) ataupun pemilik awal tanah yang menerbitkan atau menjual SHM tersebut kepada kliennya.
“Tidak ada satu pun pejabat yang menerbitkan SHM ataupun pemilik awal lahan yang turut dijadikan tersangka. Hanya klien kami yang dimintai pertanggungjawaban. Ini patut dipertanyakan,” ujarnya.
Dedi mengungkapkan bahwa sebagian SHM milik kliennya Alexander Halim justru dikembalikan oleh JPU, padahal berada di lokasi yang sama. Menurutnya, hal tersebut menunjukkan adanya inkonsistensi dalam penanganan perkara.
“Kalau lokasinya sama, kenapa ada yang dikembalikan dan ada yang dituntut? Ini membuktikan bahwa perkara ini tidak ditangani secara objektif,” katanya.
Ia juga menyebut bahwa perkara ini seharusnya diselesaikan melalui mekanisme administratif sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja dan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan.
Mengingat masih adanya mekanisme administratif melalui Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH), pihaknya menilai bahwa pendekatan pidana dalam kasus dugaan korupsi ini tidak tepat dan justru melanggar asas ultimum remedium.
“Mekanisme yang dikedepankan oleh pemerintah adalah pendekatan administratif dan dialogis, bukan pidana. Jadi pendekatan hukum pidana dalam perkara ini tidak tepat dan bertentangan dengan asas ultimum remedium,” ujar Dedi.
Oleh karena itu, pihaknya berharap majelis hakim dapat mempertimbangkan seluruh pledoi yang telah disampaikan dan menjatuhkan putusan yang adil.
“Kami berharap majelis hakim yang menyidangkan klien kami dapat menjatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Klien kami adalah korban dari tumpang tindih regulasi, bukan pelaku tindak pidana,” jelasnya.
Sebelumnya, JPU Bambang menuntut terdakwa Alexander Halim dengan pidana penjara selama 15 tahun, denda Rp1 miliar subsider enam bulan penjara.
Selain itu, JPU juga membebankan kepada terdakwa untuk membayar uang pengganti atas dugaan kerugian keuangan negara dan perekonomian negara yang totalnya Rp856,8 miliar.
“Membebankan kepada terdakwa untuk mengembalikan kerugian negara sebesar Rp10,5 miliar, keuntungan ilegal Rp69,6 miliar, dan kerugian perekonomian negara Rp787,1 miliar. Maka, total kerugian negara yang tercipta adalah Rp856,8 miliar,” ujar JPU Bambang.
Dengan ketentuan, sambung JPU, apabila terdakwa dalam waktu satu bulan sesudah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap atau inkrah tidak membayar uang pengganti, maka harta kekayaan terdakwa disita untuk memenuhi pembayaran uang pengganti tersebut.
“Dalam hal harta kekayaan terdakwa tidak memenuhi untuk pembayaran uang pengganti, maka diganti pidana penjara selama tujuh tahun dan enam bulan,” kata JPU Bambang. (rfn)