×

Iklan

Hakim PN Medan Batalkan Status Tersangka Suami Aniaya Istri Dinilai Menzalimi Rasa Keadilan

Rabu, 20 Agustus 2025 | 22:38 WIB Last Updated 2025-08-21T06:44:22Z

Hakim tunggal Happy Efrata Tarigan saat membacakan amar putusan di PN Medan. (Foto: Istimewa)

ARN24.NEWS
– Jonson Sibarani selaku kuasa hukum pelapor, Sherly, bereaksi keras atas putusan hakim tunggal PN Medan Happy Efrata Tarigan yang mengabulkan seluruhnya permohonan praperadilan (prapid) Roland, dalam sidang di Ruang Cakra 6 PN Medan, Rabu (20/8/2025). 


Dikabulkannya permohonan prapid warga Perumahan Cemara Asri, Medan itu bukan saja menjadi preseden buruk bagi dunia peradilan di Tanah Air. Tapi juga menzalimi rasa keadilan bagi kliennya.


“Bagaimana bisa seorang hakim sanggup menyangkal asas Lex Spesialis Derogat Legi Generalis? Ada apa dengan hakim? Pasti akan saya laporkan dia. Ini perkara khusus. Perkara Penghapusan Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) bukan perkara pidana umum,” tegas Jhonson. 


Dalam pengaturannya, satu orang saksi (korban) ditambah dengan satu alat bukti saja sudah cukup menjadikan seseorang menjadi tersangka PKDRT. Hal itu sejalan dengan pendapat ahli yang dihadirkan oleh termohon prapid (Kapolda Sumut cq Renakta Ditreskrimum Polda Sumut-red) melalui kuasa hukummya dari Bidang Hukum (Bidkum) pada persidangan dua hari sebelumnya.


Oleh karenanya, advokat dikenal kritis itu akan membuat laporan pengaduan ke Pengadilan Tinggi (PT) Medan, sebagai pengawas perpanjangan tangan Mahkamah Agung (MA) RI dalam menjaga standar kualitas dan integritas peradilan di tingkat PN se-Sumut.


Selain itu, Jonson Sibarani juga akan membuat laporan pengaduan ke Komisi Yudisial (KY) agar memantau perkara-perkara yang ditangani hakim Happy Efrata Tarigan.


Di bagian lain, Jonson Sibarani mengatakan, putusan tersebut menjadi pelajaran berharga bagi Subdit Renakta Polda Sumut dan bukan berarti ‘kiamat’ untuk menindaklanjuti perkara yang dilaporkan kliennya. 


Misalnya, dengan membuka kembali perkara tersebut dengan profesional mungkin. Lakukan penyidikan yang komprehensif. Segera tetapkan kembali status Roland menjadi tersangka dan jangan bermain api. 


“Sebab ini mencoreng marwah kepolisian yang dianggap tidak mampu. Tentunya kita minta atasannya harus mengganti formasi tim penyidiknya,” pungkasnya.


Ketika dimintai tanggapannya lewat pesan teks WhatsApp (WA) atas rencana kuasa hukum Sherly melaporkannya ke PT Sumut dan KY, hakim tunggal Happy Efrata Tarigan hingga malam tadi, belum memberikan komentar.


Sementara dalam amar putusannya Happy Efrata Tarigan menyatakan, menerima permohonan prapid seluruhnya. Penetapan Roland sebagai tersangka penganiaya istrinya, Seherly dinilai tidak sah. 


Pertimbangan hukumnya, termohon telah tiga kali mengeluarkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Namun perkembangan penyidikannya tidak diserahkan kepada tersangka Roland, pemohon prapid.


Kemudian, rekam medis yang dijadikan termohon sebagai bukti surat, tidak dapat dikategorikan sebagai bukti surat. Hanya informasi pendukung. Seharusnya Visum Et Repertum (VER).


Di bagian lain, Happy Efrata Tarigan memerintahkan termohon agar mencabut status tersangka pemohon. 


Sementara pada persidangan lalu, termohon prapid menghadirkan dua ahli hukum pidana yakni Dr Alpi Sahri dan Syarifuddin, dari Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (P3AKB) Provinsi Sumut. 


Menurut Alpi Sahri, PKDRT merupakan lex specialis derogat legi generalis. Asas hukum yang menyatakan bahwa peraturan khusus (lex specialis) mengesampingkan peraturan umum (lex generalis).


Peristiwa tindak pidana dalam lingkup rumah tangga, sambungnya, memang agak sulit menghadirkan saksi lain di luar saksi korban. 


“Walau demikian, sekali pun hanya saksi korban dan didukung bukti surat, ditemukan persesuaian adanya peristiwa tindak pidana, sudah cukup bagi penyidik menjadikan seseorang tersangka perkara PKDRT,” tegasnya.


Di bagian lain Tumbur dan Effendi Barus selaku tim kuasa hukum pemohon prapid mempertanyakan tentang bukti surat berupa rekam medis atau resume medis dari rumah sakit, layaknya seseorang berobat. Bukan visum dari dokter forensik sebagai petunjuk adanya akibat kekerasan fisik. 


Ahli hukum pidana itu pun menjawabnya dengan contoh kasus. “Kalau misalnya ada peristiwa pembunuhan. Jenazah korban ditenggelamkan ke laut atau dimutilasi kemudian dibuang. Tidak ada visum dari dokter forensik. Apakah dengan demikian lantas kasusnya dihentikan begitu saja?” urainya.


Artinya, dalam perkara PKDRT yang dilihat bukanlah kuantitasnya. Melainkan kualitasnya. Walau hanya saksi korban dan rekam medis, bila bersesuaian, maka bisa diproses lebih lanjut agar peristiwa tindak pidananya menjadi terang benderang.


Pendapat serupa juga dikemukakan Syarifuddin, ahli dari Dinas P3AKB Provinsi Sumut. Di mana perkara PKDRT adalah lex specialis yang bisa mengesampingkan peraturan umum.


“Kalau saya bisa balik bertanya, mana lebih tinggi, Peraturan Mahkamah Agung (Perma) tentang bukti permulaan tindak pidana atau Undang-Undang PKDRT?” timpal ahli. Sebagai pengendali sidang, Happy Efrata Tarigan pun ‘mendinginkan’ kembali suasana jalannya persidangan. (sh)